Oleh : Yuppi Rosmala Sari, S.Kp., M.Kes *(

[Berita Opini] Transformation : Toward a Neuro-inclusive World For All adalah tema hari kepedulian Autisme yang diusung tahun 2023 oleh dunia sebagaimana dilansir dari situs resmi United Nations. Pada peringatan hari ini, PBB menyatakan pentingnya mengubah narasi Medical Model of Disability yang terfokus kepada menyembuhkan atau mengubah individu penyandang autisme, menjadi lebih menitikberatkan kepada inklusivitas dan neurodiversitas, yaitu penerimaan, dukungan, dan advokasi hak-hak penyandang autisme. Hal ini merupakan perubahan yang signifikan dan neurodiversitas yang lebih luas bagi semua penyandang autisme. Oleh karenanya, saat ini penyandang Autisme memungkinkan untuk mengklaim martabat dan harga diri mereka serta terintegrasi sebagai bagian dari anggota keluarga dan masyarakat yang berharga.

Hari kepedulian Autisme sedunia ditetapkan berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 2007 dan disahkan berdasarkan surat nomor A/RES/62/139. Resolusi tersebut menetapkan bahwa setiap tanggal 2 April diperingati sebagai hari kepedulian Autisme sedunia terhitung sejak tahun 2008. Tujuan ditetapkannya hari kepedulian Autisme sedunia adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengakuan atas hak-hak penyandang autisme di seluruh dunia.

Autisme, saat ini disebut sebagai gangguan spektrum autisme atau Autism Spectrum Disorder. Autism Spectrum Disorder merupakan  istilah yang pertama kali digunakan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders versi V yang dirilis pada bulan Mei tahun 2013. Terminologi “spectrum” digunakan karena gejala gangguan spektrum Autisme bervariasi dari tahap ringan hingga berat. Gangguan spektrum Autisme merupakan gangguan perkembangan otak (neurodevelopment) yang ditandai dengan adanya gangguan dan kesulitan penderita untuk berinteraksi sosial, berkomunikasi baik verbal maupun non-verbal, serta adanya gangguan perilaku, minat dan aktifitas yang terbatas, berulang dan stereotipik.

Gangguan spektrum Autisme 4 – 5 kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Sebagian besar anak sudah menunjukkan gangguan sejak dini, sehingga gangguan spektrum Autisme bisa didiagnosis pada anak sebelum usia 2 tahun. Namun, sebagian besar anak gangguan spektrum Autisme didiagnosis setelah usia 4 tahun. Padahal, semakin dini anak terdiagnosis gangguan spektrum Autisme, semakin dini anak akan mendapatkan intervensi yang tepat sehingga memiliki peluang kehidupan yang lebih baik di masa depan. Hal Ini merupakan tantangan di Indonesia, karena banyak orang tua datang mengeluhkan kondisi anaknya berusia sudah lebih dari 2 tahun.

Berdasarkan data dari Centre of Disease Control and Prevention  (CDC) di Amerika Serikat memperkirakan prevalensi anak dengan gangguan spektrum Autisme di tahun 2018 yakni 1 dari 59 anak, meningkat sebesar 15% dibandingkan tahun 2014 yaitu 1 dari 68 anak, sedangkan WHO memprediksi 1 dari 160 anak-anak di dunia menderita gangguan spektrum Autisme. Indonesia hingga saat ini belum memiliki data statistik jumlah penyandang Autisme yang tepat. Namun individu dengan autisme diperkirakan sudah semakin meningkat. Hal ini terlihat dari angka kunjungan di rumah sakit umum, klinik tumbuh kembang anak yang bertambah dari tahun ke tahun. Hingga saat ini penyebab gangguan spektrum Autisme masih belum dipahami secara lengkap, diduga penyebab gangguan spektrum Autisme bersifat multifaktor, yang merupakan kombinasi antara faktor genetik dan faktor lingkungan.

Dalam rangka mendukung upaya untuk mencegah dan mengendalikan gangguan spektrum Autisme, peran penting yang dapat dilakukan oleh perawat anak adalah pada saat proses pengkajian awal, deteksi dini anak yang mengarah pada gejala autisme. Keterlambatan dalam menentukan diagnosa keperawatan berpotensi akan hilangnya kesempatan untuk memberikan intervensi keperawatan kepada anak yang dilakukan oleh orang tua sehingga proses stimulasi perkembangan anak tidak berjalan maksimal. Perawat sangat diperlukan dalam memberikan informasi yang benar tentang keadaan yang dialami anak, cara penanganan yang tepat bagi anak gangguan spektrum Autisme serta bagaimana agar orangtua mampu menjalankan peran dan fungsinya secara tepat saat memiliki anak yang mengalami gangguan spektrum Autisme.

Peran perawat anak lainnya yang dapat dilakukan sejalan dengan program dari Kementerian Kesehatan, diantaranya

  1. Melakukan upaya promotif dan preventif melalui media Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), sosialisasi, penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat agar dapat melakukan deteksi dini.
  2. Melaksanakan pelatihan keterampilan kecakapan hidup bagi guru dan remaja serta pelatihan pola asuh bagi kader dan orang tua.
  3. Memberdayakan peran keluarga, guru dan masyarakat untuk mencegah dan mendeteksi dini tanda-tanda gangguan spektrum Autisme untuk dapat segera ditindaklanjuti.

Perawat anak Indonesia siap berkontribusi dalam perlindungan, penghormatan, pendidikan dan kehidupan yang layak bagi anak penyandang Autisme.

*( penulis

  1. Pemerhati anak dan dosen keperawatan dengan bidang kepakaran tumbuh kembang pada anak.
  2. Anggota Divisi Pelayanan dan Kesejahteraan PW IPANI Propinsi Jawa Barat.
  3. Mahasiswa PhD di Mahsa University Malaysia.