Oleh : Windy Rakhmawati, SKp., M.Kep., PhD *(
[Berita Opini] Tuberkulosis (TBC) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia. World Health Organization (WHO) mengestimasi bahwa tahun 2021 sekitar 10,6 juta orang terdiagnosa TBC dan 11% diantaranya adalah anak-anak. Indonesia sendiri saat ini menempati posisi ranking kedua sebagai negara dengan kasus TBC terbanyak. Berdasarkan data dari Kemenkes (2021) menyatakan bahwa kasus TBC di Indonesia pada tahun 2021 diperkirakan sebesar 969.000. Tingginya kasus TBC ini sejalan juga dengan peningkatan kasus TBC pada anak. Salah satu penyebab utama tingginya angka kejadian TBC pada anak yaitu adanya riwayat kontak dengan TB dewasa di lingkungan rumahnya, terutama dari orang tua dengan TB BTA positif. Anak-anak usia ≤ 5 tahun beresiko tertular TBC sebanyak 65% karena immaturitas sel immun dan masih sering menghabiskan waktu dengan orang tuanya.
Dalam upaya pencegahan TB pada anak dengan kontak serumah, Indonesia melakukan program pencegahan TB pada anak yang mengacu pada rekomendasi WHO yaitu meliputi imunisasi BCG, skrining dan investigasi kontak, pengendalian infeksi, dan pengobatan pencegahan dengan isoniazid (PPINH). Namun, masih banyak orang tua atau keluarga yang tidak membawa anaknya dengan riwayat kontak tersebut untuk dilakukan skrining ke pelayanan Kesehatan sehingga mengakibatkan keterlambatan diagnosa dan pengobatan TBC pada anak.
Pengobatan TBC juga masih merupakan hal yang perlu diperhatikan pada anak. Kepatuhan anak terhadap pengobatan anti TBC masih menjadi issue dalam eliminasi TBC pada anak. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kegagalan pengobatan pada anak dapat terjadi akibat: 1) faktor ekonomi keluarga, terutama untuk kebutuhan transportasi akses menuju layanan kesehatan. 2) Durasi pengobatan. Lamanya durasi dan prosedur pengobatan TBC pada anak seringkali membuat orang tua dan anak menjadi bosan dan lelah. 3) Stigma. Adanya stigma terhadap TBC membuat keluarga atau orang tua malu untuk membawa anaknya berobat atau untuk mengambil obat ke layanan Kesehatan. 4) Reaksi anak terhadap pengobatan. Rasa obat yang pahit seringkali membuat anak jadi menangis, menolak, dan berontak saat diberikan obat. Kondisi-kondisi tersebut seringkali menjadi hambatan bagi orang tua untuk mematuhi pengobatan TBC untuk anaknya dan bahkan menghentikan pengobatan karena tidak tega dengan respon anaknya yang menolak obat.
Hal ini tentunya menjadi tantangan besar untuk kita sebagai perawat anak. Perawat Anak memiliki kontribusi dan peran yang penting dalam eliminasi TBC terutama pada anak di Indonesia. Hari TBC Sedunia tanggal 24 Maret 2023 dengan tema AYO BERSAMA AKHIRI TBC, INDONESIA BISA! dapat menjadi momen yang tepat bagi perawat anak untuk bersama-sama dengan tenaga kesehatan lainnya dan pihak-pihak terkait untuk menanggulangi TBC khususnya TBC anak di Indonesia karena penanggulangan TBC memerlukan keterlibatan multi-sektor baik dari sektor kesehatan, sosial maupun ekonomi.
Berdasarkan filosofi keperawatan anak, asuhan keperawatan anak harus mengacu pada prinsip “Family-Centered Care” yaitu perawatan berfokus pada keluarga. Dengan demikian, perlu adanya upaya-upaya kita sebagai perawat anak untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran orang tua dan keluarga seputar TBC pada anak, termasuk upaya pencegahan dan pengobatan TBC yang tepat pada anak. Selain itu, pendekatan dan strategi yang child friendly juga diperlukan pada anak agar anak pun memahami dan memiliki motivasi yang tinggi dalam pengobatannya.
*( Penulis :
1. Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan; Penelitian; Kerjasama dalam Negeri dan Kerjasama Luar Negeri IPANI Propinsi Jawa Barat.
2. Wakil Dekan I dan Dosen Departemen Keperawatan Anak dan Dasar Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran dalam Bidang Kepakaran Asuhan Keperawatan pada Anak Tuberkulosis.
canadian online pharmacy no prescription cialis dapoxetine
canadian online pharmacy no prescription cialis dapoxetine